"Gempa bumi!!!"
Mungkin seruan ini mulai sering terjadi akhir-akhir ini di Bali. Aneh. Pulau Dewata yang konon diberkati karena keintiman hubungan masyarakat dengan alamnya akhir-akhir ini sering mengalami bencana; mulai dari longsor sampai gempa bumi. Apakah yang sebenarnya terjadi?
Izinkan saya mengutip tulisan dari buku "Mati Tidak Berarti Pergi" karya Herwiratno terkait masalah bencana alam:
"Alam raya mulai muak atas berbagai perilaku buruk manusia yang tinggal di atasnya, terutama perilaku semena-mena terhadap alam. Alam raya berencana akan 'mengatur ulang' kehidupan di atasnya. Caranya.. ya, dengan bencana besar!"
Jika kita mengingat ke belakang, ribuan tahun lalu Tuhan Allah memberi bencana air bah karena muak dengan sikap dan perilaku manusia yang buruk di jaman Nabi Nuh. Tapi Tuhan tetap menyisakan kehidupan di dunia ini karena percaya ada kebaikan pada diri manusia. Pada kasus Nabi Nuh, segelintir manusia terpilih dan sepasang binatang dibiarkan untuk meneruskan keberlangsungan kehidupan di bumi ini.
Lalu jika bencana besar ini terjadi di jaman kita hidup pada saat ini, apa yang harus kita lakukan? Bumi Nuswantara telah mengalami banyak bencana pahit yang menelan ribuan korban jiwa. Entah dalam bentuk tsunami, gunung meletus, banjir longsor, dan lain sebagainya. Jika kita perhatikan, lokasi tempat bencana-bencana ini terjadi adalah lokasi yang penduduknya cukup ekstrem dalam menyikapi suatu hal, terutama dalam permasalahan agama, berkeperimanusiaan, dan sikap mereka terhadap alam.
Seperti kita ketahui, Bali terkenal aman dan diberkati karena menjadi salah satu daerah di Indonesia yang masih menghargai alam dan melaksanakan ritual budaya leluhur. Tapi kenapa akhir-akhir ini banyak bencana terjadi di Bali, terutama gempa berskala 6.4 SR (sumber lain mengatakan 5.6 SR) yang terjadi pagi tadi (22/3/17, 07:10 WITA)?
Mungkin kalian sering mendengar istilah "Bali sudah tidak seindah dulu". Entah dari tahun '70an atau di tahun 2017, istilah ini tetap relevan terutama bagi kami para penghuni yang tinggal di Bali. Ini menjadi pertanda bahwa Bali mengalami perubahan, seringkali dan cepat sekali. Perubahan-perubahan di Bali mungkin bisa jadi perubahan tercepat di seluruh Bumi Nuswantara, karena banyaknya investor, turis dan imigran di Bali. Apa yang terjadi? Apa yang telah kita lakukan pada Ibu Pertiwi?
Bali kehilangan satu per satu asetnya. Awalnya tanah yang diperjual-belikan pada pendatang dan investor domestik maupun asing. Persawahan disulap menjadi perhotelan, dan seakan tanpa kendali hijau alam Bali berubah menjadi kelabu beton. Jumlahnya membabi buta, bahkan Bali mengalami over-supply hotel, villa dan resort yang malah menghilangkan inti wisata itu sendiri.
Green zone (lahan hijau) yang seharusnya dipertahankan kini
berlomba dibangun menyalahi izin tertulis. Tempat-tempat suci kehilangan
energinya karena pembangunan dilakukan tanpa seizin alam. Perkembangan
yang terlampau cepat ini seperti penjajahan yang dilakukan terhadap
tanah warisan leluhur tanpa toleransi maupun kompensasi.
Wilayah perkotaan di Bali sudah tak ada
bedanya dengan perkotaan di pulau lain dengan hiruk-pikuk dan kemacetan
yang merajalela di siang hari. Malam hari di Bali sudah tak ada
khusyuknya karena dentuman musik keras terdengar di mana-mana yang
mengganti kericau jangkrik dan kodok. Bali pun kehilangan faunanya.
Sekitar sembilan ribu anjing dieksekusi dengan dalih penyakit rabies. Bagaimana kabar anjing Kintamani sebagai salah satu ras asli anjing di
dunia ini? Bali sudah tak lagi ramah lingkungan. Sampah bertumpuk di
pinggir jalan dan berserakan di tempat wisata.
Bali juga kehilangan inti sari budayanya. Bisa kita hitung sekarang berapa banyak anak muda Bali yang masih paham dan tetap setia melestarikan budaya leluhur. Dibandingkan dengan anak muda yang mulai mengadaptasi budaya barat, mungkin jumlahnya hanya 1:1000. Budaya dengan mudahnya diperjualbelikan, sekadar untuk tontonan tanpa ada maknanya lagi. Segalanya bisa dibeli dengan uang.
Bali sudah bukan milik masyarakat suku Bali lagi, tapi milik turis dan imigran yang tidak paham / peduli pada tatanan budaya leluhur. Mereka menguasai seni budaya dan menikmati kedamaian alam Bali, tapi hanya di permukaannya saja. Mereka mencampurkan budaya dari tempat asal masing-masing dengan budaya Bali tanpa lagi mengindahkan aturan yang ada. Dan masyarakat Bali membiarkannya; menyaksikan punahnya budaya dalam diam dan bahkan terlena dalam prosesnya.
Lalu apa yang tersisa dari Bali untuk generasi mendatang? Dan apa yang
harus kita lakukan untuk mencegahnya? Mungkinkah Tuhan berniat
memperingatkan manusia dengan membuat gegar tanah yang dielu-elukan
sebagai paradise (surga) sehingga banyak masyarakatnya yang
bersikap jumawa karena merasa sebagai penduduk pulau yang paling
diberkati para Dewata?
via balipost |
Walau mungkin sudah sedikit terlambat, sekarang tetap lebih baik daripada nanti. Kita pun bisa memulainya dari diri sendiri dengan hal-hal kecil, di antaranya:
1. Menjaga kebersihan, termasuk membuang sampah di tempatnya,
mendaur ulang dan membersihkan pantai, hutan, gunung dan sungai. Jika
pergi berlibur hendaknya kita membawa sampah kita sendiri dan yang kita
temui di sekitar dan membuang di tempatnya. Bawa kantong untuk sampah ke
mana pun kamu pergi, tempatkan kotak sampah di dalam mobil, gunakan
plastik ramah lingkungan jika tidak bisa menghindari penggunaan plastik,
gunakan tas kain ketimbang plastik, dst. Hal-hal kecil ini bisa
berpengaruh besar jika semua orang melakukan hal yang sama. Setuju?
2. Stop menjual Bali. Biasanya orang tua mewariskan tanah bagi anak-cucu untuk tempat tinggal dan supaya dipergunakan untuk hal-hal baik. Sementara itu biaya kehidupan sehari-hari selayaknya didapatkan dari hasil bekerja dengan jerih payah sendiri. Jika tanah dijual hanya semata-mata karena nilai uang besar yang menjanjikan, jika uang tersebut dipergunakan untuk hal-hal yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, maka warisan orang tua pun lenyap tanpa guna. Sebaiknya cari solusi selain menjual tanah warisan, misalnya dengan menyewakan (leasing) atau bekerja sama dengan investor untuk membuat usaha. Tapi sebaiknya juga tetap ikuti aturan main tertulis maupun tidak tertulis yang berlaku di tanah Bali.
3. Mengembalikan pada alam. Alam Bali yang tadinya masih segar dan perawan kini penuh dengan jejak ikut campur manusia. Alam memang menyediakan dirinya untuk dinikmati manusia, tapi sampai batas manakah kenikmatan itu bisa kita ambil? Sepertinya kita perlu lagi menerapkan sistem "mati satu tumbuh seribu" di mana setiap kali kita mengambil sesuatu dari Bumi sekiranya kita mengembalikan sesuatu sebagai kompensasi. Misalnya ketika membangun rumah, sekiranya kita biarkan ada lahan hijau untuk penyerapan, adakan penanaman pohon dan tanaman lain di sekitar rumah, menyediakan saluran air yang layak, dsb. Dan setiap pohon yang kita tebang selayaknya kita tanam lagi pohon lain supaya generasi mendatang pun bisa tetap menikmati keindahan alam.
4. Introspeksi diri. Sebaik apapun kita membangun fasilitas,
bagian terpenting dalam hidup di dunia ini adalah jiwa manusianya.
Karena itu, introspeksi diri adalah hal yang wajib dilakukan oleh setiap
penghuni Bali, terutama karena saat ini Bali adalah salah satu tujuan
warga dunia untuk praktik yoga. Kegiatan meditasi ini sebaiknya dimulai
dari mensyukuri berkat karunia Tuhan, memahami tujuan hidup kita sebagai
manusia, dan membagikan berkat pada sesama. Dengan menyadari inti sari
dan tujuan kehidupan masing-masing, niscaya kita akan lebih peka
terhadap suara alam dan pada akhirnya bisa bahu-membahu menyelamatkan
alam.
5. Meningkatkan spiritualitas. Ada kesempatan setiap purnama untuk melukat
(mandi membersihkan diri di sumber mata air) dan ada banyak praktisi
meditasi yang bisa dimintai petunjuk untuk mendekatkan diri pada Tuhan
(jika kamu butuh, saya bisa rekomendasikan orang yang tepat kamu temui
di Bali.) Mungkin saya tidak punya kata-kata yang tepat untuk hal
spiritual ini, karenanya saya sangat menyarankan kalian membaca buku "Mati Tak Berarti Pergi" dan "Hidup Tidak Lenyap Hanya Berubah" karangan Herwiratno
untuk setidaknya menyadarkan sisi spiritualitas kita dan sebagai
panduan untuk kehidupan yang lebih baik dan mudah bagi setiap insan
manusia.
Saya mencintai Bali. Saya sering berlibur dan bahkan sempat tinggal
selama bertahun-tahun di sana. Karena itu saya merasa prihatin dan
khawatir terhadap bencana yang akhir-akhir ini melanda Bali. Gempa bumi
bukanlah bencana yang sesungguhnya. Jika mau ditilik, gempa bumi
biasanya hanyalah 'warning' atau peringatan bagi masyarakat di
suatu tempat untuk berubah, bertobat, dan berdoa lebih baik lagi. Jadi
gempa bumi yang terjadi pagi tadi bisa dibilang sebagai penanda bahwa
sudah saatnya kita berhenti terlena dalam kehidupan fana dan mulai
mencintai alam lagi.
Tulisan ini bukan hanya saya tujukan pada warga Bali semata, tapi juga
untuk kalian seluruh pelancong dan pendatang yang singgah maupun menetap
di Bali, dan semua orang yang mencintai Bali seperti saya. Mari kita
bantu masyarakat Bali untuk mengembalikan Bali pada jalurnya, pada
budaya leluhurnya, dan pada keasrian alamnya dengan cara berdoa memohon
pada Yang Maha Kuasa untuk meminimalisir bencana yang bisa terjadi di
tanah Bali, dan juga daerah lain di seluruh Nuswantara.
Dan jangan lupa: "usaha tanpa doa adalah kesombongan; doa tanpa usaha adalah kesia-siaan". Marilah kita bersama-sama menjadi pribadi yang lebih benar, lebih bijaksana, dan lebih dekat dengan Sang Maha Pencipta. #kembalikanBaliku #saveBali
Rahayu _/|\_
Victoria Tunggono
P.S. Ada tambahan pesan dari seorang kawan tentang legenda terciptanya Bali. Singkatnya begini:
Pada awalnya diciptakan gunung, kemudian laut. Untuk menghubungkan keduanya diciptakan sungai yang mengaliri air tawar dan menghidupkan tanah di sekitarnya. Dari tanah tumbuhlah tanaman, termasuk bahan pangan untuk dimakan. Kemudian diciptakan binatang dan ternak yang makan dari tumbuhan tadi. Ketika semuanya sudah siap, diciptakanlah manusia yang hidup dengan fasilitas lengkap dari ekosistem alam ini.
Namun kekhawatiran bangsa manusia telah membuat manusia menjadi serakah dan mengambil lebih daripada yang mereka butuhkan dengan dalih untuk tabungan masa depan. Padahal 60% dari tabungan itu tidak pernah terpakai dan akhirnya menjadi sia-sia. Segala yang berlebihan ini mengurangi harmoni alam dan membuat alam berteriak.
Jika manusia tetap melakukan apa yang mereka telah lakukan selama seabad terakhir ini pada alam sang penopang fasilitas hidup, alam akan memulai memperbarui dirinya dari awal kembali. Semoga gempa hari ini bukan menjadi pemanasan proses 'reset' ulang, tetapi menjadi peringatan bagi kita manusia untuk hidup lebih ramah terhadap Bumi Pertiwi.
Pada awalnya diciptakan gunung, kemudian laut. Untuk menghubungkan keduanya diciptakan sungai yang mengaliri air tawar dan menghidupkan tanah di sekitarnya. Dari tanah tumbuhlah tanaman, termasuk bahan pangan untuk dimakan. Kemudian diciptakan binatang dan ternak yang makan dari tumbuhan tadi. Ketika semuanya sudah siap, diciptakanlah manusia yang hidup dengan fasilitas lengkap dari ekosistem alam ini.
Namun kekhawatiran bangsa manusia telah membuat manusia menjadi serakah dan mengambil lebih daripada yang mereka butuhkan dengan dalih untuk tabungan masa depan. Padahal 60% dari tabungan itu tidak pernah terpakai dan akhirnya menjadi sia-sia. Segala yang berlebihan ini mengurangi harmoni alam dan membuat alam berteriak.
Jika manusia tetap melakukan apa yang mereka telah lakukan selama seabad terakhir ini pada alam sang penopang fasilitas hidup, alam akan memulai memperbarui dirinya dari awal kembali. Semoga gempa hari ini bukan menjadi pemanasan proses 'reset' ulang, tetapi menjadi peringatan bagi kita manusia untuk hidup lebih ramah terhadap Bumi Pertiwi.
Tulisan ini diambil dari blog saya di www.victoriatunggono.com.
*) title image via emilygosweiler.com.
*) title image via emilygosweiler.com.